MAN 1 Musi Banyuasin Opini Terapkan Tiga Hal Ini Agar Hidup Tenang Dan Bahagia

Terapkan Tiga Hal Ini Agar Hidup Tenang Dan Bahagia

Penulis : Wahyuni Widya

Dalam kehidupan sehari-hari kita sebagai makhluk sosial tidak pernah lepas dari pengaruh dan ketergantungan terhadap sesama manusia. Seperti cara berpakaian, cara minum yang baik dan tradisi-tradisi yang ada di suatu tempat yang harus bahkan wajib di ikuti, karena anda berada di lingkungan sosial yang memiliki peraturan dalam bermasyarakat.

Manusia dikatakan makhluk sosial yaitu makhluk yang hidupnya tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh manusia lain. Manusia dikatakan makhluk sosial, juga di karenakan pada diri manusia ada dorongan untuk berhubungan (interaksi) dengan orang lain. Ada kebutuhan sosial (sosial need) untuk hidup dengan orang lain. Terkadang didasari oleh kesamaan ciri atau kepentingan masing-masing. Manusia kadang rela bersandiwara agar di “sukai” dan di “pertahankan” untuk bertahan dalam suatu sircle, baik itu sircle pertemanan, keluarga bahkan pekerjaan.

Kita tidak bisa menolak ketika dalam suatu sircle ada yang mengecam ketidaknyamaan. Kita juga tidak bisa menahan ratusan bahkan ribuan mulut yang membicarakan kekurangan bahkan keburukan. Kita tidak bisa memastikan semua orang suka pada kita. Sekeras apapun usaha, sedemikian rupa pengorbanan, jika pada dasarnya orang tidak senang dan selalu mengedepankan pikiran serta emosi negatifnya, selamanya hidup akan dibuat tidak tenang jika terus memikirkan hal tersebut.

Lalu bagaimana agar tenang menjalani kehidupan yang kejam, bagaimana kita menciptakan sendiri surga di dunia, dan bagaimana agar hidup bahagia juga tenang? Jawabannya adalah hidup seralaslah dengan alam, terapkan dikotomi kendali dalam kehidupan dan ikhlaslah dalam melakukan hal sekecil apapun bentuknya.

Terdengar sedikit berat atau justru mengantuk saat membaca tulisan ini. Dalam filsafat Stoisme Yunani-Romawi yang sudah ada sejak 2000 tahun lalu mengatakan, bahwa kita harus hidup “selaras dengan alam” (in accorrdance with nature). Dalam konteks nature dari manusia, Stoisme menekankan satu-satunya hal yang dimiliki “manusia” yang membedakannya dari “binatang” adalah nalar, akal sehat, rasio dan kemampuan menggunakan untuk hidup berkebijakan (life of virtues). Manusia yang hidup sesuai dengan  desainnya, yaitu makhluk bernalar.

a. Hidup “selaras dengan alam” menuntut kita menyadari adanya keterkaitan di kehidupan ini. Stoisme melihat sesuatu di alam semesta ini sebagai keterkaitan, bagaikan jaring-jaring raksasa, termasuk semua peristiwa di dalam hidup kita sehari-hari. Dengan kata lain, kejadian-kejadian yang ada dalam hidup kita adalah hasil dari rantai peristiwa “besar” sampai peristiwa yang terkesan ”remeh” sekalipun.

Tidak ada peristiwa yang betul-betul kebetulan. Maksudanya sesuatu yang sudah terjadi di masa lalu dan sedang terjadi pada detik ini, juga adalah hal tak terhindarkan karena merupakan mata rantai dari peristiwa sebelumnya. Ketika kita sudah menyelaraskan diri dengan alam, berbuat serta bertingkah laku dengan natural selanjutnya terapkan dikotomi kendali dalam diri kita, agar tidak insecure atau baperan.

b. Dikotomi kendali merupakan suatu hal yang dapat dikendalikan dan tidak dapat kendalikan. Epictetus mengungkapkan some things are up to us, some things are not up to us (ada hal-hal di bawah kendali (tergantung pada) kita, ada hal-hal yang tidak di bawah kendali (tidak tergantung pada) kita). Hal yang ada di bawah kendali kita bersifat merdeka, tidak terikat, tidak terhambat seperti presepsi kita, tujuan kita, mimpi kita, dan segala sesuatu yang merupakan pikiran dan tindakan yang berasal dari diri kita sendiri. Sebaliknya hal-hal yang tidak di bawah kendali kita bersifat lemah, bagai budak, terikat, dan milik orang lain. Seperti tindakan orang lain terhadap kita, reputasi/popularitas, kesehatan, kekayaan, kondisi saat kita lahir dan segala sesuatu di luar pikiran dan tindakan kita, bisa juga seperti bencana alam, cuaca, sekalipun kebijakan pemerintah, keputusan pimpinan, indeks pasar modal dan sebagainya itu di luar kendali kita.

Epictetus dalam buku Discourses kembali menyebutkan “siapapun yang mengingini atau menghindari hal-hal yang ada di luar kendalinya, maka ia tidak akan pernah benar-benar merdeka dan bisa setia pada dirinya sendiri, tetapi akan terus terombang-ambing terseret dalam hal-hal tersebut.”

Dari dikotomi kendali kita bisa menyimpulkan bahwa tentang hidup yang kita jalani tidak harus mengkhawatirkan sesuatu yang akan terjadi, terlebih itu di luar kendali. Mengapa? Karena tujuan kita hidup untuk bahagia sekaligus tenang. Maksimalkan saja usaha untuk terus menjaga hubungan baik dengan manusia dan pertajam intesitas ibadah dengan yang Maha Kuasa. Sebagai hamba dan makhluk sosial yang menuntut hidup agar bahagia juga tenang, jalan terakhir adalah ikhlas.

c. Ikhlas ialah, menghendaki keridaan Allah dalam suatu amal, membersihkannya dari segala individu maupun duniawi. Tidak ada yang melatarbelakangi suatu amal, kecuali karena Allah dan demi hari akhirat. Tidak ada noda yang mencampuri suatu amal, seperti kecenderungan kepada dunia untuk diri sendiri, baik yang tersembunyi maupun yang terang-terangan.

Ikhlas sebuah amalan yang tidak akan berguna disisi Allah SWT tanpa disertai keikhlasan, sedangkan ikhlas adalah rahasia antara Allah dan hamba-Nya. Disaat ikhlas telah tertanam didalam jiwa kita maka kedekatan seorang hamba pun bisa diukur pada ketulusannya, tidak hanya didalam melakukan ibadah, menjalani kehidupan, dan menempuh kematian tetapi juga dapat dilihat dari penerimaan seorang hamba terhadap apa-apa yang telah ditetapkan Allah SWT.

Kebahagiaan dan ketenangan hidup akan sangat terasa ketika kita benar-benar menjalani dunia sesuai porsinya, menyelaraskan hidup dengan alam, mengontrol diri bahkan tidak usah mengkhawatirkan sesuatu yang di luar kendali, apalagi yang belum tentu terjadi, selanjutnya rasa ikhlas akan membantu kita sebagai manusia untuk menyempurnakan kedua tips diatas. Kita tidak perlu terlihat baik di hadapan manusia, karena yang tau kebenaran bahkan kebaikan yang kita lakukan hanyalah sang pencipta.

Semoga tulisan ini dapat menjadi alarm bahwa hidup hanya sementara, laksanakan tugas sebaik-baiknya, sehatkan hati dan pikiran dengan terus berpikir positif pada keadaan. Jangan habiskan waktu untuk hal-hal yang tidak memberi energi positif pada hidup kita.

Share
10 Likes

Author: admin